Sidoarjo, Eksklusif.co.id – Pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah jantung pelaksanaan program Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Sektor ini, yang mengalokasikan triliunan rupiah dana publik, seharusnya menjadi benteng akuntabilitas.
Namun, ironisnya, ia sering menjadi titik paling rentan terhadap praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Sorotan wajib diarahkan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), yang kewenangannya yang sangat luas dalam proses
Pengadaan membuka celah penyalahgunaan yang sistematis.
Sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No. 12 Tahun 2021, PPK adalah pengendali utama, bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan kontrak,
Mulai dari penyusunan spesifikasi teknis hingga pembayaran akhir.
Kewenangan yang begitu besar tanpa pengawasan yang memadai menciptakan godaan moral (moral hazard) yang tinggi.
Penyelewengan yang dilakukan atau difasilitasi oleh PPK tidak hanya merugikan keuangan negara,
Akan tetapi juga mengorbankan kualitas infrastruktur dan layanan publik.
Lima modus operandi yang paling sering terjadi adalah:
1. Rekayasa Spesifikasi Teknis (Spek) – Tender by Design Modus ini adalah bentuk pembatasan persaingan.
PPK secara sengaja menyusun spesifikasi teknis yang mengarah pada produk, merek, atau penyedia jasa tertentu.
Tujuannya adalah memastikan hanya rekanan yang sudah diatur yang dapat lolos kualifikasi, mengabaikan prinsip efisiensi dan persaingan yang sehat.
2. Penggelembungan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) – Mark-up PPK memiliki tanggung jawab menyusun HPS sebagai dasar penetapan nilai penawaran.
Celah terjadi ketika PPK menggelembungkan nilai HPS jauh di atas harga pasar tanpa dasar survei yang valid dan akuntabel.
Selisih antara HPS yang dimark-up dengan harga pemenang inilah yang menjadi margin gelap, berpotensi menjadi fee atau kickback ilegal.
3. Penyalahgunaan Mekanisme Splitting Proyek Untuk menghindari mekanisme lelang terbuka (tender)
Yang ketat, PPK melakukan pemecahan proyek (splitting) menjadi paket-paket kecil agar nilainya berada di bawah ambang batas lelang (seperti Rp 200 juta).
Dengan demikian, proyek dapat ditunjuk langsung atau diadakan langsung kepada rekanan tertentu tanpa persaingan yang transparan.
4. Pembiaran Kualitas Rendah dan Keterlambatan Sebagai pengawas kontrak, PPK memiliki kewenangan
Untuk menjatuhkan sanksi denda atau menolak hasil pekerjaan.
Penyelewengan terjadi saat PPK mengabaikan sanksi denda atas keterlambatan atau menerima hasil pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi
Demi mempercepat proses pencairan dan mendapatkan imbalan pribadi.
5. Kolusi dalam Pengaturan Kualifikasi Tender Meskipun proses tender dieksekusi oleh Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja),
PPK berperan dalam menetapkan persyaratan awal. Kolusi antara PPK dan Pokja/panitia dapat menghasilkan diskualifikasi peserta lain dengan alasan yang dicari-cari,
Memastikan pemenang yang dikehendaki melenggang mulus.
Penyelewengan PPK adalah perbuatan melawan hukum yang serius. Regulasi telah ada, namun penegakannya seringkali tumpul:
Tindakan mark-up HPS atau penerimaan kickback secara jelas melanggar Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena termasuk perbuatan yang merugikan keuangan negara.
Perpres No. 12 Tahun 2021 Menggariskan kewajiban PPK untuk melaksanakan pengadaan dengan prinsip efisien, efektif, transparan, bersaing, dan akuntabel.
Mekanisme pengawasan harusnya menjadi filter kuat, namun seringkali terkesan hanya formalitas. Inspektorat Daerah
Dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) wajib melakukan audit yang tidak hanya memeriksa administrasi,
Akan tetapi juga audit investigasi yang mendalam terhadap kewajaran harga dan kualitas fisik pekerjaan.
Selain itu, sistem e-procurement (SPSE)
yang dikelola oleh LKPP dirancang untuk transparansi, tetapi jika HPS dan spesifikasi teknis sudah direkayasa sejak awal (pra-tender),
Maka sistem elektronik pun tidak berdaya menutup celah korupsi.
Untuk menutup celah ini, fokus harus diarahkan pada dua aspek utama:
Sertifikasi PPK harus diikuti dengan pelatihan integritas yang ketat dan berkala.
Penerapan mekanisme rotasi harus diaktifkan untuk mencegah terbangunnya jaringan kolusi dengan rekanan yang sama dalam jangka waktu lama.
Penetapan PPK harus didasarkan pada kompetensi dan rekam jejak yang bersih.
Transparansi dokumen pengadaan harus total, mulai dari rincian HPS, hasil survei harga, hingga kontrak fisik yang diunggah secara terbuka.
Media dan masyarakat sipil harus diberikan ruang dan akses untuk memantau dan melaporkan indikasi penyimpangan. Pengawasan proaktif dari masyarakat adalah benteng terakhir integritas dana publik.
Selama PPK hanya dilihat sebagai gatekeeper proyek tanpa pengawasan berlapis dan sanksi yang tegas, dana publik akan terus menjadi bancakan oknum.
Keberanian OPD untuk menegakkan Perpres 12/2021 secara utuh dan komitmen penegak hukum memberantas korupsi pengadaan
Adalah kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik dan menjamin pembangunan yang berkualitas.”Pungkasnya. (Ali)
![]()













