Nusantara

Batik Al-Huda Sidoarjo: Dari Kampung Jetis Merambah Pasar Dunia

25
×

Batik Al-Huda Sidoarjo: Dari Kampung Jetis Merambah Pasar Dunia

Sebarkan artikel ini

Sidoarjo, eksklusif.co.id – Dari sebuah kampung kecil bernama Jetis di Sidoarjo, lahirlah Batik Al-Huda, salah satu ikon batik Nusantara yang kini dikenal hingga mancanegara. Perjalanan panjang ini dimulai pada 1982, ketika Nurul Huda, pendirinya, masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Dengan modal Rp50 ribu dari orang tuanya, ia membeli 15 lembar kain dan mulai bereksperimen membuat motif batik, meski kemampuannya saat itu masih terbatas.

“Waktu itu saya hanya membuat motif abstrak dan ternyata disukai teman-teman serta guru,” kenang Huda. Dari situlah ia mulai menjual batik ke lingkungan sekitar.

Usaha yang awalnya kecil justru menjadi penopang biaya pendidikan hingga kuliah. Setelah lulus, ia memilih tetap mengembangkan usaha sembari menjadi dosen. Dengan tambahan pinjaman Rp1 juta, Huda mulai membeli kain lebih banyak dan memperluas pasar melalui strategi door to door ke rumah warga, toko, hingga ke luar kota seperti Mojokerto dan Malang.

Krisis moneter 1998 sempat melumpuhkan banyak industri batik, namun Batik Al-Huda mampu bertahan. Kuncinya, kata Huda, adalah loyalitas para karyawan yang diperlakukan layaknya mitra. Pada tahun yang sama, ia dipercaya Bupati Sidoarjo menjadi Ketua Paguyuban Batik Sidoarjo.

Sebagai ketua, Huda menelusuri sejarah batik Sidoarjo yang dulunya berkembang di tiga sentra besar: Sekardangan, Kedungcangkring, dan Jetis. Kini, hanya Jetis yang masih bertahan dengan sekitar 18 pengrajin aktif.

“Dua daerah lainnya sudah punah, tinggal Jetis yang bertahan,” jelasnya, Rabu (27/08/2025).

Tahun 2008 menjadi momen penting ketika UNESCO menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia. Huda memanfaatkan momentum itu dengan membuka pelatihan membatik dan menyiarkannya lewat televisi lokal. Ribuan orang ikut belajar dan berkunjung ke galeri Batik Al-Huda di Pondok Sidokare Asri, Sidoarjo.

Prestasi pun terus diraih. Tahun 2010, Batik Al-Huda meraih Juara II Pelestarian Budaya serta penghargaan UKM Berprestasi Jawa Timur. Dua tahun kemudian, Yayasan Batik Indonesia membeli karyanya senilai Rp20 juta. Pada 2014, ia mencatat Rekor MURI dengan membuat kemeja batik terbesar di Indonesia.

Kini, Batik Al-Huda menembus pasar internasional dengan pelanggan dari Singapura, Jepang, Belanda, hingga Eropa Barat.

“Bagi kami, menjaga mutu dan ciri khas adalah kunci agar batik Sidoarjo dikenal luas,” tegas Huda.

Motif Batik Al-Huda sendiri sarat filosofi. Motif beras wutah melambangkan kemakmuran, kembang tebu menggambarkan kejayaan Sidoarjo sebagai penghasil gula, sementara udang-bandeng merepresentasikan dua ikon laut daerah. Ada pula motif kembang bayam dan burung merak yang menambah kekayaan estetikanya.

Menjelang akhir 2019, pesanan Batik Al-Huda mencapai 7.000 helai per tahun. Pandemi Covid-19 sempat membuat produksi turun drastis, hanya puluhan potong per bulan. Meski omzet anjlok dari Rp4 miliar menjadi di bawah Rp1 miliar, Huda memilih tidak merumahkan 50 karyawannya.

Tantangan lain datang dari gempuran batik printing murah impor, khususnya dari China, serta minimnya dukungan daerah. Namun, sejak Juni 2022 muncul harapan baru ketika Pemkab Sidoarjo mewajibkan ASN mengenakan udeng pacul gowang, ikat kepala khas Sidoarjo. Produksi udeng melonjak 100 persen, sementara penjualan batik premium di atas Rp1 juta naik 30 persen menjelang Lebaran. Pesanan pun datang dari berbagai kota besar di Indonesia.

Dengan pengalaman lebih dari empat dekade, Batik Al-Huda terus konsisten menjaga kualitas sekaligus beradaptasi dengan tren. Dari Kampung Jetis hingga menembus pasar global, Batik Al-Huda membuktikan bahwa warisan budaya bisa bertahan sekaligus berkembang di era modern. (Ali)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *