Hukum

Dugaan Permainan Hukum Terkait Kasus Notaris Dadang K.W, Perkara Ringan Ke Tuntutan 3 Tahun Penjara

40
×

Dugaan Permainan Hukum Terkait Kasus Notaris Dadang K.W, Perkara Ringan Ke Tuntutan 3 Tahun Penjara

Sebarkan artikel ini

Surabaya, eksklusif.co.id – Perkembangan dari proses Hukum Notaris Dadang Koeboedi Witjaksono nampak semakin menjadi sorotan Publik. Perkara awalnya dalam kategori Kasus Ringan dan diperkirakan tuntutan 6 bulan Penjara, tapi tiba-tiba berubah Drastis, yang tuntutannya 3 Tahun Penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Deddy Arisandi dari Kejaksaan Negeri Surabaya.

Dengan adanya perubahan signifikan ini menimbulkan tanda tanya besar, dan terlebih munculnya dugaan Komunikasi tertutup, antara JPU dan Pelapor kala sebelum persidangan.

Karena bermula Kasus laporan Tuhfatul Mursala yang menuduh Notaris Dadang K.W telah melakukan Pemalsuan Tanda Tangan dalam Akta Notaris Nomor: 34 dan 63 Tahun 2011. Tuduhan ini lantas diproses di Polrestabes Surabaya. Namun dalam Tahap Penyelidikan itu, Penyidik menyatakan, bahwa tidak ada pihak yang dirugikan secara langsung dalam Perkara ini.

Namun Pelimpahan Berkas Tahap II dari Polrestabes Surabaya ke Kejaksaan, Terdakwa bahkan mendapat informasi, bahwa Tuntutan yang akan diajukan terhadapnya diperkirakan hanya sekitar 6 bulan. Hal ini mengindikasikan, bahwa Perkara tersebut tidak memiliki unsur Pidana yang berat.

Namun situasi berubah, ketika Kasus ini mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya. Sehingga Terdakwa didakwa berdasarkan Surat Dakwaan Nomor: 57/Pid.B/2025/PN Sby dengan sangkaan Melanggar Pasal 264 Ayat (1) KUHP tentang Pemalsuan Surat.

Bahkan ada dugaan kembali ditimbulkan adanya Permainan Hukum didalam Sidang yang digelar pada hari Selasa (25/02/2025). Maka dalam Sidang itu, JPU saat itu menghadirkan 2 Saksi, tapi hanya satu Saksi saja yang bisa hadir, yaitu Dwi Hariyanto, S.H dari Perumnas.

Ada hal yang menjadi perhatian yaitu sebelum Sidang dimulai, JPU Deddy Arisandi nampak terlihat menggiring 2 Saksi, temasuk Pelapor Tuhfatul Mursala masuk ke Ruang Jaksa di Pengadilan Negeri Surabaya.

Bahkan momen ini tertangkap Kamera beberapa media yang hadir di lokasi. Tidak diketahui apa yang dibahas dalam pertemuan tertutup tersebut, namun langkah ini menimbulkan kecurigaan, bahwa ada upaya untuk mempengaruhi jalannya persidangan.

Sedangkan Sidang pada hari Kamis (20/03/2025) tersebut semakin memperkuat adanya dugaan intervensi dalam Kasus ini.

Maka dalam persidangan tersebut, JPU Deddy Arisandi membacakan tuntutan yang jauh lebih berat dari perkiraan sebelumnya, yaitu 3 Tahun Penjara. Sehingga pernyataan ini langsung dipertanyakan oleh Terdakwa.

“Tetapi mengapa dalam tuntutan yang dibacakan kemarin, Jaksa Penuntut Umum menuntut saya dengan Hukuman 3 Tahun Penjara? Ada apa dengan Jaksa Penuntut Umum? Padahal ketika dalam Pelimpahan Berkas Tahap II dari Polrestabes ke Kejaksaan, saya diberitahu, bahwa estimasi tuntutannya sekitar 6 bulan, karena ini adalah Perkara Ringan sekali,” ujar Notaris Dadang K.W dalam pembelaannya di hadapan Majelis Hakim.

Oleh karena itu, tuntutan yang tidak sesuai dengan bobot Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa JPU yang sebelumnya menganggap Kasus ini ringan, tiba-tiba Menjatuhkan Tuntutan yang jauh lebih Berat?

Lebih lanjut, Fakta-fakta di persidangan menunjukkan banyak kejanggalan dalam Kasus ini.

Pelapor Tuhfatul Mursala tidak mampu menunjukkan Kerugian langsung yang dideritanya akibat perbuatan Terdakwa.

Maka Penyidik Polrestabes Surabaya sebelumnya juga menyatakan, bahwa tidak ada pihak yang dirugikan dalam Perkara ini.

Tuduhan Pemalsuan tanda tangan Almarhum KH. Abd. Sattar Madjid dan Almarhum H. Abd. Faqih dalam Akta Notaris Nomor: 34 dan 63 Tahun 2011 tidak didukung oleh Bukti Kuat.

Pelapor menggunakan Penetapan Ahli Waris Nomor: 1416/Pdt.P/2017/PA.Sby dari Pengadilan Agama Surabaya sebagai Dasar laporan.

Namun, Penetapan tersebut telah dibatalkan oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 365 K/Ag/2021, sehingga tidak memiliki Kekuatan Hukum.

Saksi Ahli Pidana dan Ahli Kenotariatan yang dihadirkan dalam persidangan menegaskan, bahwa Kasus ini lebih bersifat Administratif.

Oleh sebab itu, kesalahan seorang Notaris dalam Pembuatan Akta itu, yang seharusnya diselesaikan melalui jalur Perdata atau Kode Etik, bukan dengan Tuntutan Pidana.

Dengan adanya berbagai Kejanggalan ini, Publik semakin menyoroti dugaan adanya Permainan di balik Kasus ini. Perubahan tuntutan dari yang awalnya diperkirakan Ringan, ternyata menjadi 3 Tahun Penjara, serta Pertemuan Rahasia antara JPU dan Pelapor sebelum Sidang, hal ini semakin memperkuat Spekulasi adanya Kepentingan tertentu dalam Perkara ini.

Sehingga Keputusan ada di tangan Majelis Hakim. Apakah mereka akan mempertimbangkan semua Fakta yang terungkap di persidangan dan memberikan Putusan yang Adil bagi Terdakwa? Maka Sidang lanjutan yang dengan agenda Pembacaan Putusan dijadwalkan berlangsung Minggu ini, dan akan menjadi Penentuan, apakah Kasus ini benar-benar murni Penegakan Hukum atau ada kepentingan lain yang bermain di balik Perkara Kasus ini. (Red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *