Pemerintah

NTB Darurat Kekerasan Seksual: Suara Perempuan Nusantara Bangkitkan Solidaritas Akar Rumput

64
×

NTB Darurat Kekerasan Seksual: Suara Perempuan Nusantara Bangkitkan Solidaritas Akar Rumput

Sebarkan artikel ini

Nusa Tenggara Barat, eksklusif.co.id – Di tengah meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Nusa Tenggara Barat (NTB), organisasi Suara Perempuan Nusantara (SPN) menggelar lokakarya bertajuk “Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender: Merawat Solidaritas, Menguatkan Strategi Kegiatan ini berlangsung di Aula Dinas Sosial NTB, Jalan Langko, Kota Mataram, diikuti puluhan aktivis muda dari berbagai organisasi kampus, kelompok mahasiswa dan komunitas masyarakat sipil”.

Lokakarya ini, menyikapi data yang dirilis Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB, yang mencatat 976 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang tahun 2024,di antaranya 603 kekerasan terhadap anak. Mayoritas kasus terjadi di ranah domestik dan kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan tertinggi yang dilaporkan.

Ketua SPN, Nur Khotimah, dalam sambutannya menyatakan, lokakarya ini menjadi langkah konkret komunitas sipil dalam membangun pemahaman kritis, memperkuat jejaring dan mendorong keterlibatan generasi muda dalam agenda pencegahan kekerasan.

“Kami percaya, perubahan tidak bisa ditunda. Pencegahan kekerasan harus dimulai dari cara kita berpikir, berorganisasi dan menyusun strategi bersama. Anak muda harus menjadi bagian dari solusi,” ucap Nur.

Sesi utama lokakarya menghadirkan dua narasumber kunci, diantaranya, Ririn Hayudiani, Ketua LPSDM dan Yan Mangandar Putra, Ketua PBH Mangandar NTB.

Dalam kesempatan itu, Ririn membuka diskusi yang menegaskan NTB tengah menghadapi “situasi darurat kekerasan yang tak dapat disangkal” jelasnya.

“Data dan fakta menunjukkan bahwa situasi NTB sedang tidak baik-baik saja. Korban kekerasan didominasi perempuan dan anak, dan cara pandang yang meminggirkan mereka justru dilegitimasi atas nama agama, adat, politik dan ekonomi. Di sinilah analisis gender dan interseksionalitas menjadi penting,” ungkap Ririn.

Dikesempatan sama, Yan Mangandar menyoroti rendahnya pemahaman masyarakat terhadap isu kekerasan seksual. Dirinya mengungkapkan stigma terhadap korban masih sangat kuat, bahkan dalam kasus yang ditangani di lembaga pendidikan berbasis agama.

“Kita harus akui, kita masih menstigma korban. Ini sangat menyakitkan. Dalam beberapa kasus pondok pesantren yang kami dampingi, masyarakat masih cenderung membela pelaku daripada korban. Maka, saya ajak semua peserta, apapun latar belakang komunitasnya, mari kita berdiskusi dan bergerak bersama, seru Yan dengan nada penuh keprihatinan”.

Para peserta yang hadir, terdiri dari perwakilan BEM universitas, organisasi mahasiswa dan kelompok pemuda lintas ideologi, menyambut baik ruang pertemuan ini. Bagi mereka, forum seperti ini adalah momen langka dan sangat dibutuhkan.

“Kegiatan seperti ini sangat penting bagi mahasiswa. Selama ini suara kami banyak dibungkam, tapi hari ini kami bisa bicara, bisa menyusun langkah. Terima kasih untuk SPN yang telah membuka ruang,” ujar salah satu peserta dari organisasi mahasiswa.

Kegiatan ini mendapatkan dukungan penuh dari Institut Kapal Perempuan, lembaga yang selama ini dikenal konsisten mendorong pendidikan kritis, penguatan komunitas perempuan akar rumput dan advokasi kebijakan responsif gender.

SPN berkomitmen menjadikan hasil lokakarya sebagai pijakan awal untuk menyusun agenda tindak lanjut bersama. Mulai dari penguatan edukasi gender berbasis komunitas, pelatihan penanganan kasus kekerasan, hingga inisiasi forum lintas kampus dan komunitas untuk advokasi kebijakan daerah yang lebih berpihak pada korban.

Lokakarya ini bukan sekadar kegiatan satu hari. Tapi simbol perlawanan terhadap normalisasi kekerasan, terhadap budaya diam, terhadap sistem yang abai.

“Gerakan kita bukan reaktif, tapi terorganisir. Ini tentang masa depan NTB yang lebih adil bagi semua, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang selama ini tak terdengar,” tegas Nur Khotimah dipenghujung kegiatan.

Di akhir sesi, seluruh peserta menyatakan komitmen untuk menjaga keberlanjutan agenda ini dan membentuk forum pemantau kekerasan berbasis gender di tingkat kampus dan komunitas.

“Dengan semangat solidaritas, Suara Perempuan Nusantara kembali menunjukkan bahwa perubahan adalah hasil dari kerja kolektif, bukan retorika belaka,” pungkas Nur.

laela

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *