Pemerintah

Jangan Sampai Ada Korban Baru Bullying, Apalagi Menimbulkan Kekerasan Fisik dan Psikis

25
×

Jangan Sampai Ada Korban Baru Bullying, Apalagi Menimbulkan Kekerasan Fisik dan Psikis

Sebarkan artikel ini

Purwakarta, eksklusif.co.id – Para pelaku perundungan terhadap siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Purwakarta telah sepakat membantu biaya pengobatan korban hingga sembuh. Proses pembinaan dan pengawasan juga terus dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Purwakarta.

Hal itu disampaikan oleh Dandi Prima Kusuma, Komisioner KPAI Kabupaten Purwakarta, kepada media ini di kantornya, Jumat (10/10/2025).

Menurut Dandi, kasus tersebut harus menjadi pelajaran penting bagi semua pihak agar tidak muncul korban baru akibat perundungan di lingkungan pendidikan.

“Sudah semestinya ada edukasi, sosialisasi, hingga trauma healing bagi korban bullying. Jangan sampai muncul korban baru, apalagi yang mengalami kekerasan fisik dan psikis di kemudian hari,” ujarnya.

Dandi menegaskan, kasus ini menjadi evaluasi serius bagi Kemenag sebagai institusi pembina MTsN.

“Peristiwa di MTsN Purwakarta ini menunjukkan lemahnya pengawasan di lingkungan asrama,” tegasnya.

Kasus perundungan di MTsN Purwakarta mencuat setelah orang tua korban berinisial DF melapor ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Kabupaten Purwakarta. DF diketahui mengalami luka fisik hingga patah tulang hidung setelah dikeroyok puluhan kakak kelasnya di lingkungan sekolah berasrama di Kelurahan Purwamekar, Purwakarta.

Pihak madrasah menyatakan akan memberikan pendampingan psikologis kepada korban maupun pelaku pasca kejadian, serta telah mempertemukan kedua belah pihak dalam proses mediasi.

Sementara itu, praktisi psikologi Agus Sanusi menilai, perundungan tidak bisa dipandang sebatas kenakalan individu pelaku, melainkan sudah menjadi masalah budaya yang tumbuh subur di lingkungan sekolah.

“Banyak pendidik gagal memahami bahwa masalahnya bukan hanya perilaku pelaku, tetapi juga budaya senioritas dan pola relasi yang tidak sehat. Kalau budaya ini tidak dibongkar, pelakunya boleh berganti, tapi polanya akan terus berulang,” jelasnya.

Agus menyebut, lingkungan sekolah berasrama dengan sistem senioritas yang kuat sering menganggap kekerasan sebagai hal lumrah.

“Pola seperti itu menciptakan lahan subur bagi praktik perundungan terorganisasi,” katanya.

Menurutnya, sekolah seharusnya menjadi ruang belajar yang aman dan setara.

“Budaya senioritas yang tidak dikontrol justru melahirkan ketakutan sistemik di kalangan siswa junior,” tegasnya.

Meski sudah ada upaya mediasi, Agus menekankan pentingnya langkah pencegahan struktural.

“Pendekatan psikologis bagi korban memang penting, tapi pencegahan sistemik jauh lebih penting agar tidak muncul korban berikutnya,” pungkasnya.

(Laela)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *